Kisah ini adalah fakta semata. Semua nama dan tempat yang disebutkan disini bukan rekayasa. Apalagi fitnah. Begini ceritanya. Kahar hanyalah seorang toke kopi dari ratusan toke kopi yang ada di Aceh Tengah. Meski telah melakukan transaksi jual beli kopi selama tidak kurang dari 10 tahun, namun Kahar dalam transaksinya tidak pernah menggunakan kuitansi resmi. Apalagi memakai stempel.
Jika dirunut , nilai transaksi Kahar sudah mencapai milyaran rupiah. Tapi persoalannya bukan disitu.
Tapi saat transaksi terjadi, semua nilai uang transaksi, walau mencapai ratusan juta, hanya ditulis diatas kertas bekas. Percaya atau tidak ? kalau percaya syukur, kalau tidak Astagfirullah.
Senin , 18 April 2011, saya dan Kahar duduk bertiga dalam satu mobil pick up Chevrolet. Chevrolet pick up merupakan kenderaan yang jamak bagi para toke kopi di Takengon. Gunanya untuk mengangkut kopi dari petani.
Saat itu, seorang toke kopi lainnya, yang membeli kopi dari petani langsung, menahan laju mobil Kahar.
Awan Ecek, sebut saja begitu, akan menjual kopi gabah kepada Kahar yang dijemurnya diatas tanah depan rumahnya. Tanpa alas, tapi langsung ke tanah.
Gabah kopi itu masih basah. Jumlahnya 15 tem (kaleng) . “Sidah jumlahhe Wan”, kata Kahar. “15 tem we”, kata Awan Ecek. “Si catatanne?”, Tanya Kahar.
“Gere ara pake catat”, sebut Awan Ecek lagi. “Yah , si keta tekek kertas. Kati kite cataten jumlahe”, kata Kahar lagi.
Awan Ecek yang berjualan kios mengambil kotak bungkus bekas rokok. Mereknya 153. Kretek. Bungkus rokok tersebut dipotong dua oleh Kahar.
Satu potongan catatan yang berisi jumlah kaleng , harga perkaleng dengan nilai total rupiah Rp. 3.750.000,-.
Dalam catatan bungkus rokok itu , Kahar juga membuat tanggal dan tandatangannya. Transaksi selesai. “Kahe senne wan”, ujar Kahar, kemudian menjahit karung plastic putih berles biru dan diangkat ke Chevrolet bersama supirnya yang juga seorang pekerjanya.
Satu potongan bungkus rokok lainnya dibawa Kahar sebagai bukti telah melakukan transaksi dengan awan Ecek.
Saat saya hendak mengambil foto kertas transaksi itu, Kahar menolak dan berkata, “Enti foto bang yoh, kemel kite”, kata Kahar sambil tertawa.
Sebagai fotografer kampong, saya tentu saja tak mau luput mengambil catatan transaksi itu. Jefret. Meski berusaha menghindar, tapi terekam juga.
Jika awan Ecek nilai transaksinya Rp.3.750 juta. Transaksi Kahar dengan toke yang lebih besar lainnya, juga sama.
Dalam catatan Kahar yang saya lihat, diatas kertas folio bekas yang ukurannya sekitar 5 x 7 centimeter, tercatat nilai transaksi kopi Kahar dengan pengusaha kopi lainnya bernilai diatas Rp.100 juta. Ada yang nilainya Rp.200 juta. Luar biasa.
Menurut Kahar, hamper semua toke kopi di Aceh Tengah melakukan transaksi diatas kertas bekas. Terkadang di bekas bungkus rokok. Folio bekas. Bekas kertas semen dan sejumlah kertas bekas lainnya.
“Gerarake toke kupi si bertransaksi pake kuitansi?”, ujarku bertanya pada Kahar. “Ara, toke I”, jawab Kahar. Toke I adalah inisial seorang toke ternama di Aceh Tengah yang nilai tabungannya di bank pemerintah mencapai milyaran rupiah. Demikian juga nilai pinjamannya.
Ditambahkan Kahar, meski nilai transaksi jual beli green bean, kopi gabah, atau kopi gelondong merah (cherry) , semuanya dilakukan diatas kertas bekas.
Pun begitu, tambah Kahar, mereka saling percaya. Karena sudah kenal lama dan sering berkomunikasi. Umumnya sama-sama warga local.
Meski berisiko , transaksi serupa ini, tetap berjalan hingga kini. Pernah juga terjadi beberapa kali, para toke ini merugi karena uang penjualan kopi mereka ratusan kilo hingga tonan, dibawa lari toke lainnya.
Toke curang ini biasanya orang luar daerah atau toke local yang lari keluar daerah dan tak pernah lagi kembali.
Tampaknya, untuk para toke ini, perlu dilakukan penataran. Bukan penataran P4. Tapi managemen , keuangan dan pembukuan. Agar para toke ini menggunakan kaidah pembukuan modern akutansi. Adakah yang mau memberi pelatihan untuk para toke ini….? Auh ah gelap (Aman Shafa) .
Kebiasaan Unik Para Toke Kopi Di Aceh Tengah:
Ketika Transaksi Jual Beli Menggunakan Bungkus Cerutu
Irwandi MN 20 04 11
LAZIM dalam sebuah transaksi jual beli maupun utang piutang para pelaku tentu mengunakan bon berupa kwitansi atau juga matre sebagai alat bukti yang sah secara hukum.
Penulis Win Rudhi Batin